ESAI DAN KRITIK SASTRA
ESAI
DAN KRITIK SASTRA
A. Pengertian Kritik dan Esai Sastra
- Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1997 : 531 ), disebutkan kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Sedangkan
esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu
dari sudut pandang pribadi penulisnya (Depdikbud, 1997: 270 ).
- H.B. Jasin mengemukakan bahwa kritik kesusastraan adalah pertimbangan baik atau buruk suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu disertai dengan alasan mengenai isi dan bentuk karya sastra.
- H.B. Jasin mengemukakan bahwa kritik kesusastraan adalah pertimbangan baik atau buruk suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu disertai dengan alasan mengenai isi dan bentuk karya sastra.
-Widyamartaya
dan Sudiati (2004 : 117) berpendapat bahwa kritik sastra adalah pengamatan yang
teliti, perbandingan yang tepat, dan pertimbangan yang adil terhadap baik-buruknya
kualitas, nilai, kebenaran suatu karya sastra.
Memberikan
kritik dan esai dapat beromanfaat untuk memberikan panduan yang memadai kepada
pembaca tentang kualitas sebuah karya. Di samping itu, penulis karya tersebut
akan memperleh masukan, terutama tentang kelemahannya.
adalah
karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut
pandang pribadi penulisnya. Pengarang esai disebut esais. Esai sebagai satu
bentuk karangan dapat bersifat informal dan formal. Esai informal mempergunakan
bahasa percakapan, dengan bentuk sapaan “saya” dan seolah-olah ia berbicara
langsung dengan pembacanya. Adapun esai yang formal pendekatannya serius.
Pengarang mempergunakan semua persyaratan penulisan.
Esai adalah sebuah komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis tentang subyek tertentu. Sebuah esai dasar dibagi menjadi tiga bagian: pendahuluan yang berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek; tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek; dan terakhir adalah konklusi yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek.
Apa yang membedakan esai dan bukan esai? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan dengan merujuk pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada, tetapi pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada sering kali masih tidak lengkap dan kadang bertolak belakang sehingga masih mengandung kekurangan juga. Misal mengenai ukuran esai, ada yang menyatakan bebas, sedang, dan dapat dibaca sekali duduk; mengenai isi esai, ada yang menyatakan berupa analisis, penafsiran dan uraian (sastra, budaya, filsafat, ilmu); dan demikian juga mengenai gaya dan metode esai ada yang menyatakan bebas dan ada yang menyatakan teratur.
Penjelasan mengenai esai dapat lebih “aman dan mudah dimengerti” jika ditempuh dengan cara meminjam pembagian model penalaran ala Edward de Bono. Menurut De Bono, penalaran dapat dibagi menjadi dua model. Pertama, model penalaran vertikal (memusatkan perhatian dan mengesampingkan sesuatu yang tidak relevan) dan kedua model penalaran lateral (membukakan perhatian dan menerima semua kemungkinan dan pengaruh).
Dari pembagian model penalaran ini, esai cenderung lebih mengamalkan penalaran lateral karena esai cenderung tidak analitis dan acak, melainkan dapat melompat-lompat dan provokatif. Sebab, esai menurut makna asal katanya adalah sebuah upaya atau percobaan yang tidak harus menjawab suatu persoalan secara final, tetapi lebih ingin merangsang. Menurut Francis Bacon, esai lebih sebagai butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan yang mengenyangkan.
Esai adalah sebuah komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis tentang subyek tertentu. Sebuah esai dasar dibagi menjadi tiga bagian: pendahuluan yang berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek; tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek; dan terakhir adalah konklusi yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek.
Apa yang membedakan esai dan bukan esai? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan dengan merujuk pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada, tetapi pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada sering kali masih tidak lengkap dan kadang bertolak belakang sehingga masih mengandung kekurangan juga. Misal mengenai ukuran esai, ada yang menyatakan bebas, sedang, dan dapat dibaca sekali duduk; mengenai isi esai, ada yang menyatakan berupa analisis, penafsiran dan uraian (sastra, budaya, filsafat, ilmu); dan demikian juga mengenai gaya dan metode esai ada yang menyatakan bebas dan ada yang menyatakan teratur.
Penjelasan mengenai esai dapat lebih “aman dan mudah dimengerti” jika ditempuh dengan cara meminjam pembagian model penalaran ala Edward de Bono. Menurut De Bono, penalaran dapat dibagi menjadi dua model. Pertama, model penalaran vertikal (memusatkan perhatian dan mengesampingkan sesuatu yang tidak relevan) dan kedua model penalaran lateral (membukakan perhatian dan menerima semua kemungkinan dan pengaruh).
Dari pembagian model penalaran ini, esai cenderung lebih mengamalkan penalaran lateral karena esai cenderung tidak analitis dan acak, melainkan dapat melompat-lompat dan provokatif. Sebab, esai menurut makna asal katanya adalah sebuah upaya atau percobaan yang tidak harus menjawab suatu persoalan secara final, tetapi lebih ingin merangsang. Menurut Francis Bacon, esai lebih sebagai butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan yang mengenyangkan.
1.
prinsip dalam menyusun kritik dan esai, di antaranya sebagai berikut.
a Pokok persoalan yang dibahas harus layak untuk diulas dan hasil ulasannya harus memberikan keterangan atau memperlihatkan sebab musabab yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang nyata. Jadi yang terpenting bukan apa yang diulas, tetapi bagaimana cara penulis memberikan ulasannya.
b Pendekatan yang digunakan harus jelas, apakah persoalan didekati dengan pendekatan faktual atau imajinatif? Pendekatan faktual maksudnya mendekati pokok persoalan berdasarkan fakta dan datanya sebagaimana diserap pancaindra. Pendekatan imajinatif maksudnya mendekati pokok persoalan berdasarkan apa yang dibayangkan atau diangankan.
c. Ulasan yang menggunakan pendekatan faktual harus didukung oleh fakta yang nyata dan objektif. Penulis tidak bleh mengubah fakta untuk mendukung pandangannya. Pernyataan yang diungkapkan harus jelas, jangan samar-samar, harus dapat dipercaya, tidak disangsikan atau disangkal, dan dapat dibuktikan kebenarannya.
d. Pernyataan yang diungkapkan harus jelas, jangan samar-samar, harus dapat
dipercaya, tidak disangsikan atau disangkal, dan dapat dibuktikan kebenarannya.
2.
beberapa fungsi kritik sastra adalah sebagai berikut.
a Membina dan mengembangkan sastra. Melalui kritik sastra, kritikus berusaha menunjukkan struktutr sebuah karya sastra, memberikan penilaian, menunjukkan kekuatan dan kelemahannya, serta memberikan alternatif untuk pengembangan karya sastra tersebut.
b Pembinaan apresiasi sastra. Para kritikus berusaha membantu para peminat karya sastra memahami sebuah karya sastra. Kritikus berusaha mengungkap daerah-daerah yang lemah yang terdapat dalam karya sastra. Analisis struktur sastra, kmentar dan interprestasi, menjelaskan unsur-unsurnya,serta menunjukan unsur-unsur yang tersirat dan tersurat, akan dapat menuingkatkan apresiasi sastra.
c Menunjang dan mengembangkan ilmu sastra. Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa, dan teknik penceritaan. Hal ini merupakan sumbangan pula untuk para ahli sastra dalam mengembangkan teri sastra. Para pengarang pun dapat belajar melalui kritik sastra dalam memperluas pandangannya, sehingga ciptaannya lebih berkembang. Untuk membuat kritik dan esai terhadap karya sastra, penulis dapat menggunakan dua pendekatan yakni dengan pendekatan deduktif dan pendekatan induktif.
B.
Sejarah Esai
Esai mulai dikenal pada tahun 1500-an dimana seorang filsuf Perancis, Montaigne, menulis sebuah buku yang mencantumkan beberapa anekdot dan observasinya. Buku pertamanya ini diterbitkan pada tahun 1580 yang berjudul Essais yang berarti attempts atau usaha. Montaigne menulis beberapa cerita dalam buku ini dan menyatakan bahwa bukunya diterbitkan berdasarkan pendapat pribadinya. Esai ini, berdasarkan pengakuan Montaigne, bertujuan mengekspresikan pandangannya tentang kehidupan.
Lalu bagaimana pengertian esai menurut Montaigne? Montaigne menuliskan sikap dan pandangannya mengenai esai melalui deskripsi-deskripsinya yang tersirat, sahaja, rendah hati tetapi jernih dalam sebuah kata pengantar bukunya: “Pembaca, ini sebuah buku yang jujur. Anda diperingatkan semenjak awal bahwa dalam buku ini telah saya tetapkan suatu tujuan yang bersifat kekeluargaan dan pribadi. Tidak terpikir oleh saya bahwa buku ini harus bermanfaat untuk anda atau harus memuliakan diri saya. Maksud itu berada di luar kemampuan saya. Buku ini saya persembahkan kepada para kerabat dan handai taulan agar dapat mereka manfaatkan secara pribadi sehingga ketika saya tidak lagi berada di tengah-tengah mereka (suatu hal yang pasti segera mereka alami), dapatlah mereka temukan di dalamnya beberapa sifat dari kebiasaan dan rasa humor saya, dan mudah-mudahan, dengan cara itu, pengetahuan yang telah mereka peroleh tentang diri saya tetap awet dan selalu hidup” (dari “To The Reader”).
Kemudian, pada tahun 1600-an, Sir Francis Bacon menjadi Esais Inggris pertama. Bukunya berjudul Essay. Bentuk, panjang, kejelasan, dan ritme kalimat dari esai ini menjadi standar bagi esais-esais sesudahnya. Ada beberapa esai yang formal, dan ada beberapa esai lain yang bersifat informal. Bentuk esai informal lebih mudah ditulis karena lebih bersifat personal, jenaka, dengan bentuk yang bergaya, struktur yang tidak terlalu formal, dan bertutur. Bentuk esai formal lebih sering dipergunakan oleh para pelajar, mahasiswa dan peneliti untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Formal esai dibedakan dari tujuannya yang lebih serius, berbobot, logis dan lebih panjang.
Di Indonesia bentuk esai dipopulerkan oleh HB Jassin melalui tinjauan-tinjauannya mengenai karya-karya sastra Indonesia yang kemudian dibukukan (sebanyak empat jilid) dengan judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1985), tapi Jassin tidak bisa menerangjelaskan rumusan esai
Esai mulai dikenal pada tahun 1500-an dimana seorang filsuf Perancis, Montaigne, menulis sebuah buku yang mencantumkan beberapa anekdot dan observasinya. Buku pertamanya ini diterbitkan pada tahun 1580 yang berjudul Essais yang berarti attempts atau usaha. Montaigne menulis beberapa cerita dalam buku ini dan menyatakan bahwa bukunya diterbitkan berdasarkan pendapat pribadinya. Esai ini, berdasarkan pengakuan Montaigne, bertujuan mengekspresikan pandangannya tentang kehidupan.
Lalu bagaimana pengertian esai menurut Montaigne? Montaigne menuliskan sikap dan pandangannya mengenai esai melalui deskripsi-deskripsinya yang tersirat, sahaja, rendah hati tetapi jernih dalam sebuah kata pengantar bukunya: “Pembaca, ini sebuah buku yang jujur. Anda diperingatkan semenjak awal bahwa dalam buku ini telah saya tetapkan suatu tujuan yang bersifat kekeluargaan dan pribadi. Tidak terpikir oleh saya bahwa buku ini harus bermanfaat untuk anda atau harus memuliakan diri saya. Maksud itu berada di luar kemampuan saya. Buku ini saya persembahkan kepada para kerabat dan handai taulan agar dapat mereka manfaatkan secara pribadi sehingga ketika saya tidak lagi berada di tengah-tengah mereka (suatu hal yang pasti segera mereka alami), dapatlah mereka temukan di dalamnya beberapa sifat dari kebiasaan dan rasa humor saya, dan mudah-mudahan, dengan cara itu, pengetahuan yang telah mereka peroleh tentang diri saya tetap awet dan selalu hidup” (dari “To The Reader”).
Kemudian, pada tahun 1600-an, Sir Francis Bacon menjadi Esais Inggris pertama. Bukunya berjudul Essay. Bentuk, panjang, kejelasan, dan ritme kalimat dari esai ini menjadi standar bagi esais-esais sesudahnya. Ada beberapa esai yang formal, dan ada beberapa esai lain yang bersifat informal. Bentuk esai informal lebih mudah ditulis karena lebih bersifat personal, jenaka, dengan bentuk yang bergaya, struktur yang tidak terlalu formal, dan bertutur. Bentuk esai formal lebih sering dipergunakan oleh para pelajar, mahasiswa dan peneliti untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Formal esai dibedakan dari tujuannya yang lebih serius, berbobot, logis dan lebih panjang.
Di Indonesia bentuk esai dipopulerkan oleh HB Jassin melalui tinjauan-tinjauannya mengenai karya-karya sastra Indonesia yang kemudian dibukukan (sebanyak empat jilid) dengan judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1985), tapi Jassin tidak bisa menerangjelaskan rumusan esai
C.
Tipe-tipe Esai
Ada enam tipe esai, yaitu:
Ada enam tipe esai, yaitu:
1. Esai deskriptif. Esai jenis ini dapat meluliskan subjek atau objek apa saja yang dapat menarik perhatian pengarang. Ia bisa mendeskripsikan sebuah rumah, sepatu, tempat rekreasi dan sebagainya.
2. Esai tajuk. Esai jenis ini dapat dilihat dalam surat kabar dan majalah. Esai ini mempunyai satu fungsi khusus, yaitu menggambarkan pandangan dan sikap surat kabar/majalah tersebut terhadap satu topik dan isyu dalam masyarakat. Dengan Esai tajuk, surat kabar tersebut membentuk opini pembaca. Tajuk surat kabar tidak perlu disertai dengan nama penulis.
3. Esai cukilan watak. Esai ini memperbolehkan seorang penulis membeberkan beberapa segi dari kehidupan individual seseorang kepada para pembaca. Lewat cukilan watak itu pembaca dapat mengetahui sikap penulis terhadap tipe pribadi yang dibeberkan. Disini penulis tidak menuliskan biografi. Ia hanya memilih bagian-bagian yang utama dari kehidupan dan watak pribadi tersebut.
4. Esai pribadi, hampir sama dengan esai cukilan watak. Akan tetapi esai pribadi ditulis sendiri oleh pribadi tersebut tentang dirinya sendiri. Penulis akan menyatakan “Saya adalah saya. Saya akan menceritakan kepada saudara hidup saya dan pandangan saya tentang hidup”. Ia membuka tabir tentang dirinya sendiri.
5. Esai reflektif. Esai reflektif ditulis secara formal dengan nada serius. Penulis mengungkapkan dengan dalam, sungguh-sungguh, dan hati-hati beberapa topik yang penting berhubungan dengan hidup, misalnya kematian, politik, pendidikan, dan hakikat manusiawi. Esai ini ditujukan kepada para cendekiawan.
6. Esai kritik. Dalam esai kritik penulis memusatkan diri pada uraian tentang seni, misalnya, lukisan, tarian, pahat, patung, teater, kesusasteraan. Esai kritik bisa ditulis tentang seni tradisional, pekerjaan seorang seniman pada masa lampau, tentang seni kontemporer. Esai ini membangkitkan kesadaran pembaca tentang pikiran dan perasaan penulis tentang karya seni. Kritik yang menyangkut karya sastra disebut kritik sastra.
D.
Ciri-ciri Esai
1. Berbentuk prosa, artinya dalam bentuk komunikasi biasa, menghindarkan penggunaan bahasa dan ungkapan figuratif.
2. Singkat, maksudnya dapat dibaca dengan santai dalam waktu dua jam.
3. Memiliki gaya pembeda. Seorang penulis esai yang baik akan membawa ciri dan gaya yang khas, yang membedakan tulisannya dengan gaya penulis lain.
4. Selalu tidak utuh, artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis. Penulis memilih aspek tertentu saja untuk disampaikan kepada para pembaca.
5. Memenuhi keutuhan penulisan. Walaupun esai adalah tulisan yang tidak utuh, namun harus memiliki kesatuan, dan memenuhi syarat-syarat penulisan, mulai dari pendahuluan, pengembangan sampai ke pengakhiran. Di dalamnya terdapat koherensi dan kesimpulan yang logis. Penulis harus mengemukakan argumennya dan tidak membiarkan pembaca tergantung di awang-awang.
6. Mempunyai nada pribadi atau bersifat personal, yang membedakan esai dengan jenis karya sastra yang lain adalah ciri personal. Ciri personal dalam penulisan esai adalah pengungkapan penulis sendiri tentang kediriannya, pandangannya, sikapnya, pikirannya, dan dugaannya kepada pembaca.
E. Panduan Dasar Menulis Esai
Untuk membuat sebuah esai yang berkualitas, diperlukan kemampuan dasar menulis dan latihan yang terus menerus. Berikut ini panduan dasar dalam menulis sebuah esai.
Struktur Sebuah Esai. Pada dasarnya,
sebuah esai terbagi minimum dalam lima paragraf:
1. Paragraf Pertama. Dalam paragraf ini penulis memperkenalkan topik yang akan dikemukakan, berikut esainya. Esai ini harus dikemukakan dalam kalimat yang singkat dan jelas, sedapat mungkin pada kalimat pertama. Selanjutnya pembaca diperkenalkan pada tiga paragraf berikutnya yang mengembangkan esai tersebut dalam beberapa sub topik.
2. Paragraf Kedua sampai kelima.Ketiga paragraf ini disebut tubuh dari sebuah esai yang memiliki struktur yang sama. Kalimat pendukung esai dan argumen-argumennya dituliskan sebagai analisa dengan melihat relevansi dan relasinya dengan masing-masing sub topik.
3. Paragraf Kelima (terakhir). Paragraf kelima merupakan paragraf kesimpulan. Tuliskan kembali esai dan sub topik yang telah dibahas dalam paragraf kedua sampai kelima sebagai sebuah sinesai untuk meyakinkan pembaca
1. Paragraf Pertama. Dalam paragraf ini penulis memperkenalkan topik yang akan dikemukakan, berikut esainya. Esai ini harus dikemukakan dalam kalimat yang singkat dan jelas, sedapat mungkin pada kalimat pertama. Selanjutnya pembaca diperkenalkan pada tiga paragraf berikutnya yang mengembangkan esai tersebut dalam beberapa sub topik.
2. Paragraf Kedua sampai kelima.Ketiga paragraf ini disebut tubuh dari sebuah esai yang memiliki struktur yang sama. Kalimat pendukung esai dan argumen-argumennya dituliskan sebagai analisa dengan melihat relevansi dan relasinya dengan masing-masing sub topik.
3. Paragraf Kelima (terakhir). Paragraf kelima merupakan paragraf kesimpulan. Tuliskan kembali esai dan sub topik yang telah dibahas dalam paragraf kedua sampai kelima sebagai sebuah sinesai untuk meyakinkan pembaca
Kritik merupakan
salah satu dari cabang ilmu sastra. Kritik sastra menganalisis teks karya
sastra itu sendiri. Kritik dapat diterapkan pada semua bentuk karya sastra,
baik yang berupa puisi, prosa maupun drama. Kritik adalah
karangan yang menguraikan tentang pertimbangan baik atau buruk suatu karya
sastra. Kritik biasanya diakhiri dengan kesimpulan analisis . Tujuan kritik bukan hanya menunjukkan
keunggulan, kelemahan, kebenaran, dan kesalahan sebuah karya sastra berdasarkan
sudut tertentu, tetapi mendorong sastrawan untuk mencapai penciptaan sastra
tertinggi dan untuk mengapresiasi karya sastra secara
lebih baik. Tugas kritik sastra adalah
menganalisis, menafsirkan, dan menilai suatu karya sastra . Kehadiran kritik
sastra akan membuat sastra yang dihasilkan berikutnya menjadi lebih baik dan
berbobot karena kritik sastra akan menunjukkan kekurangan sekaligus memberikan
perbaikan.
Ciri-ciri Kritik Sastra
Kritik
sastaramempunyai beberapa ciri, yaitu sebagai berikut :
a. Memberikan tanggapan
terhadap hasil karya.
b. Memberikan
pertimbangan baik dan buruk (kelebihan dan kekurangan ) sebuah karya sastra
c. Pertimbangan bersifat obyektif
d. Memaparkan kesan
prebadi kritikus terhadap sebuah karya sastra
e. Memberikan alternatif
perbaikan atau penyerpurnaan
f. Tidak berprasangka
g. Tidak terpengaruh
siapa penulisnya
Pentingnya
Kritik/ Fungsi Kritik
a. Bagi Pembaca
Bagi pembaca merupakan
penuntun untuk dapat menikmati ciptaan yang dikritik itu , sehingga
dapat memberikan pandangannya dan menghargainya
b. Bagi Seniman atau
Pengarangnya
Bagi pengarangnya
merupekan petunjuk yang berharga yang wajib dipertimbangkan untuk kebaikan
ciptaan yang akan datang.
Prinsip-Prinsip
Penulisan Kritik
a. Penulis harus secara
terbuka mengemukakan dari sisi mana ia menilai karya sastra tersebut.
b. Penulis harus obyktif
dalam menilai
c. Penulis harus
menyertakan bukti dari teks yang dikritik
Jenis-Jenis
Kritik
a. Kritik sastra
intrinsik, yaitu menganalisis karya sastra berdasarkan unsur intrinsiknya,
sehingga akan diketahui kelemahan dan kelebihan yang ada dalam karya sastra
b. Kritik sastra
ekstrinsik, yaitu menganalisis dengan cara menghubungkan karya sastra dengan
penulisnya, pembacanya , atau masyarakatnya. Disamping itu juga melibatkan
faktor ekstinsik lain seperti sejarah, psikologi, relegius, pendidikan dan
sebagainya
c. Kritik deduktif ,
yaitu menganalisis dengan cara berpegang teguh pada sebuah ukuran yang
dipercayainya dan dipergunakan secara konsekuen
d. Kritik Induktif, yaitu
menganalisis dengan cara melepaskan semua hukum atau aturan yang berlaku
e. Kritik impresionik,
yaiti menganalisis hasil karya berdasarkan kesan pribadi secara subyektif terhadap
karya sastra
f. Kritik penghakiman ,
yaitu menganalisis dengan cara berpegang teguh pada ukuran atau aturan tertentu
untuk menentukan apakah sebuah karya sastra baik atau buruk
g. Kritik teknis, yaitu
kritik yang dilakukan untuk tujuan tertentu saja
CONTOH
KRITIK SASTRA
a. ” Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay” , oleh H.B. Yassin
b.” Pokok dan Tokoh”,
oleh Dr.A.Teeuw
c. “Buku dan Penulis”,
oleh Amal Hamzah
Tujuan
penulisan kritik sastra antara lain:
a. Memberikan panduan
yang benar cara memahami karya sastra
b. Berguna untuk
penyusunan teori sastra an sejarah sastra
c. Membantu perkembangan
kesusastraan suatu bangsa karena memberikan penjelasan baik buruknya suatu
karya sastra
d. Memberikan manfaat
kepada masyrakat tentang pemahaman dan apresiasi sastra
CONTOH
KRITIK
Media Indonesia Selasa, 13 September 2005RESENSI » BukuRagam
Kritik Sastra Indonesia
|
Judul Buku: Mozaik Sastra Indonesia
|
Oleh: Faiz Manshur
|
MUNGKIN sebagian orang masih punya pendapat,
sastra adalah bidang marginal, terkucil dari gegap-gempita kesenian panggung
dan televisi sekarang ini. Kita hanya menyaksikan eksistensi sastra pada
panggung-panggung mini, atau acara bedah buku, temu penulis dengan pembaca
yang pengunjungnya bisa kita hitung dengan jari.Namun, biar begitu adanya,
eksistensi sastra bukan tidak berguna. Sastra bercita rasa tinggi, akan
sangat penting manfaatnya sebagai kontrol terhadap kesenian (bahkan
kebudayaan) hasil produk pasar bebas yang serbainstan, imitatif, pasaran, dan
rendah nilai estetiknya.Tentu, untuk membangun sastra yang berkualitas,
kritik sastra harus ditempatkan pada sentral diskursus. Beragam perspektif
harus disiapkan untuk melihat sesuatu yang tidak pernah kita duga-duga.
Hadirnya buku ini tentu penting bagi pembaca untuk lebih mudah melihat
keragaman analisis para pegiat sastra, kritikus dan akademis yang selama ini
serius terlibat dan meneliti perkembangan sastra Indonesia.Melalui proses
seleksi yang cukup serius, sang editor Kinayati Djojosuroto mengemas 21 esai
karya dari 21 kritikus sastra menjadi satu buku berjudul Mozaik Sastra Indonesia.Di dalamnya memuat
karya-karya dua generasi. Generasi tua diwakili Asrul Sani, Arief Budiman,
Abdul Hadi WM, dan Wilson Nadeak. Sedangkan para kritikus sastra muda yang
hadir adalah Agus R Sarjono, Agus Noor, Ahmad Subhanuddin Alwy, Binhad
Nurrahmat dan lain-lain. Ada juga tulisan dari para akademisi seperti Maman S
Mahayana, Sunaryo Basuki Ks, Suroso, dan Yusrizal Kw.Tulisan-tulisan yang
terkumpul di dalamnya berasal dari naskah-naskah yang pernah diterbitkan di
media cetak sepertiMajalah Horizon, Kompas, Republika, Media
Indonesiadan lain-lain.Antologi ini diklasifikasi menjadi 6 topik.
Bab pertama membicarakan tentang sastra dan konteks. Perbincangan dalam bab
ini mengarah pada keterkaitan antara sastra, politik, sosial, dan ideologi.
Artinya, pengarang ingin menyampaikan realitas sosial-politik, religi dan
budaya dalam bingkai sastra. Esai-esai pada bagian ini setidaknya akan
menyegarkan dahaga dunia sastra Indonesia yang selama ini mengalami
kekurangan kritik sastra.Bagian kedua, menyoal sastra dan imajinasi, di mana
pembicaraan seputar peranan imajinasi dalam karya sastra ditelaah secara
detail dan mendalam. Bagian ketiga, sastra dan pluralisme, menyoroti
kreativitas karya sastra yang selalu terikat oleh variabel lain yang
berdampak pada sukses atau gagalnya sastrawan dalam mengomunikasikan bahasa.
Dijelaskan, sastra tanpa media komunikasi akan mati, pembaca tidak akan bisa
menikmati. Masih serupa dengan perbincangan sastra dan konteks, soal
pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia cukup banyak dibicarakan dalam
bagian ini.Pada bagian keempat, Mozaik Sastra Indonesia, pembaca akan
disuguhi proses kreatif para penulis sastra dalam menciptakan
percikan-percikan ide yang memiliki nilai estetika puisi. Di dalam bab ini,
pembicaraan tentang kesaksian kreatif berpuisi dalam memahami warna lokal
sastra, latar sosial, dan religi dalam karya sastra juga mendapat
tempat.Bagian kelima, membahas soal sastra cyber. Hadirnya
teknologi informasi di Indonesia berdampak pada perkembangan sastra dengan
wajah baru dan unik. Sastracyber merupakan
fenomena penting yang tidak mungkin diabaikan dalam perbincangan sastra
Indonesia. Era cyber telah menjadikan
komunikasi antarmanusia lebih cepat. Seiring dengan itu, para sastrawan baru
pun bermunculan melalui internet. Pembicaraan sastra cyber pun makin menarik karena ternyata
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan sastra media cetak.
Bagian keenam kita akan diajak bertamasya
pada proses kreativitas pengarang. Tema ini selalu menjadi topik hangat yang
selalu dibutuhkan, terutama sastrawan pemula. Dari sini kita akan melihat
tentang suka-duka sastrawan dalam memproduksi ide penulisan.
Seperti yang pernah di katakan oleh Radhar
Panca Dahana, ”Sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik
secara teoretis maupun praktis.” Di tingkat teoretis penyingkiran pembaca
dalam penelaahan sastra, membuat sastra itu sendiri hanya berputar dalam
lingkaran analitik antara para kritikus, ambisi penerbit, atau biografi
pengarangnya. (Faiz Manshur, jurnalis tinggal di Jakarta)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar